Warga Dusun Neco, Desa Sabdodadi, Kecamatan Bantul, Yogyakarta ini berhasil memiliki perusahaan rumahan yang bergerak dalam ekspor handycraf dengan keuntungan Rp 70 juta setiap bulannya.
Bukan jumlah yang kecil untuk pengusaha rumahan seperti dia. Bahkan, dia mengaku saat memulia usahanya hanya memiliki modal Rp 80 ribu, tentu ini bukanlah modal yang besar. Tetapi mengapa Sunardi mampu menjalani usaha rumahan ini dengan omset yang luar biasa.
Saat ditemui VIVAnews, Rabu 17 Maret 2010, Sunardi tengah asik mengelus-elus dan mengutak-atik karyanya. Bahkan walaupun hanya menggunakan alat-alat yang terbilang sederhana. Buktinya, usaha gerabah tempel berhasil membawa kerajinannya hingga ke negeri kanguru Australia dan Eropa.
Memulai usaha sejak 2002 ini, Sunardi awalnya hanya memiliki dua orang karyawan yang tidak lain temannya sendiri. Lalu bagaimana dia bisa maju seperti sekarang ini.
Menurut Sunardi, tahun 2002 dengan modal Rp 80 ribu, dia membuat contoh-contoh kerajinan gerabah tempel dengan memanfaat limbah kulit bambu yang cukup melimpah di dusunnya karena sebagian besar penduduk dusun Neco merupakan perajin 'kepang' atau 'gedhek' yang bahan bakunya menggunakan bambu.
Dari bekas kulit bambu yang tidak dipakai untuk kerajinan kepang atau gedhek itu dimanfaatkan untuk membuat gerabah tempel. Untuk harga kulit bambu bekas dengan ketebalan 1 milimeter itu setiap ikat, dengan ukurunan panjang 50 hingga 60 centimeter, diperoleh dengan harga Rp 1500 hingga Rp 2000 per ikatnya.
Untuk kebutuhan gerabah yang akan ditempeli dengan kulit bambu itu dibeli langsung dari perajin gerabah di Kasongan, Bantul dengan harga setiap gerabah mencapai Rp 30.000 hingga Rp 40.000 tergantung besar kecilnya ukuran gerabah.
Untuk proses pembuatan gerabah tempel sendiri, Kenar menyatakan cukup mudah yaitu mengolesi gerabah dengan lem kayu, selanjutnya kulit bamboo yang telah siap mulai ditempel satu per satu dengan rapi.
Setelah gerabah seluruhnya ditempel dengan kulit bambu, selanjutnya dikeringkan. Setelah kering maka gerabah dicuci dan dijemur agar kering kembali. Kemudian gerabah itu dicat sesuai dengan permintaan dari pembeli.
"Ada sepuluh macam cat yang biasanya diminta oleh para pembeli. Kita tinggal mengecat gerabah yang telah ditempeli kulit bamboo sesuia dengan permintaan dari pembeli," ujar bapak dari dua anak ini.
Untuk menjual kerajinan gerabal tempel ini, selama ini masih menggantungkan dari broker sehingga keuntungan yang diperoleh tidaklah cukup besar hanya dalam kisaran 20% dari harga yang kita terima dari broker.
"Misalnya untuk satu kerajinan gerabah tempel senilai Rp 150.000 dengan biaya produksi senilai Rp 100.000, maka keuntungan yang kita dapat hanya sekitar Rp 30.000 sedangkan sisanya yaitu Rp 20.000 untuk broker atau traddingnya," jelas dia.
Dalam satu bulannya, home industrinya dengan 30 karyawan yang kesemuaannya adalah penduduk dusun Neco dapat mengirim gerabah tempel antara 500 unit hingga 1000 unit tergantung dari besar kecilnya gerabah yang akan ditempel dengan kulit bambu.
"Dengan mengirim 500 unit hingga 1000 unit penghasilan yang kita terima bisa mencapai kisaran Rp 70 juta setiap bulannya," tuturnya
Lebih lanjut dia mengatakan, banyak pesanan dari para broker atau trading ini berawal saat dirinya mengikuti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) selama satu bulan di gedung Vredebereg. Dua minggu mengikuti festival tidak ada barang yang laku terjual, hanya kartu nama saja yang banyak diminta oleh para pengunjung FKY.
"Setelah FKY selesai, justru banyak permintaan dari para broker untuk membuat sebuah produk kerajinan sesuai dengan permintaan dari buyer," ujarnya
Dengan pendapatan Rp 70 juta untuk setiap bulannya, dia mengaku dapat menggaji 30 karyawannya antara Rp 1 juta hingg Rp 1,5 juta. Dirinya juga dapat membangun rumah tingkat dua dan membeli 4 sepeda motor untuk operasioal karyawan maupun keperluan keluarga.
"Yang jelas seluruh keluarga saya mulai hidup mapan dan karyawan juga mendapatkan gaji yang cukup tinggi karena kerja mereka dengan system borong," tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar